Senin, 02 Juli 2012

PERDARAHAN OBSTRETRIK


Perdarahan Obstetrik
Perdarahan obstetrik dibedakan waktu kejadiannya ,dibagi menjadi perdarahan pada kehamilan muda (UK <20 minggu), Perdarahan Ante partum (UK >22 minggu), Perdarahan post Partum (setelah kala III ),berikut ini penjelasannya

Perdarahan Pada Kehamilan Muda
Abortus adalah istilah yang diberikan untuk semua kehamilan yang berakhir sebelum periode viabilitas janin, yaitu yang berakhir sebelum berat janin 500 gram atau perkiraan lama kehamilan kurang dan 20 minggu dihitung dan hari pertama haid terakhir normal yang dipakai.
 Kehamilan Ektopik terganggu, yaitu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus, serta mengalami gangguan berupa nyeri perut bagian bawah dan tenesmus, dapat disertai perdarahan pervaginam. Yang menonjol penderita tampak kesakitan, pucat, dan pada perneriksaan ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan dalam rongga perut.
Mola hidatidosa adalah suatu keadaan patologik dan konon yang ditandai dengan : degenerasi kistik dan villi, disertai pembengkakan hidropik, avaskularitas atau tidak adanya pembuluh darah janin; proliferasi jaringan trofoblastik. Perdarahan uterus abnormal yang bervariasi dan spotting sampai perdarahan hebat merupakan gejala yang paling khas dan kehamilan mola dan pertama kali terlihat antara minggu keenam dan kedelapan setelah amenorhe.
Perdarahan Pada Kehamilan Tua (Perdarahan Antepartum)
Perdarahan antepartum biasanya dibatasi pada perdarahan jalan-lahir setelah kehamilan 22 minggu. Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu biasanya lebih banyak berbahaya daripada kehamilan dibawah 22 rninggu oleh karena itu, memerlukan penanganan yang berbeda. Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan serviks biasanya tidak seberapa berbahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama - tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta.
Perdarahan antepartum yang bersumber pada kelainan plasenta, yang secara klinis biasanya tidak terlampau sulit dalam menentukannya ialah plasenta previa, dan solusio plasenta. Oleh karena itu, kiasifikasi perdarahan antepartum dibagi sebagai berikut:
 Placenta previa ialah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir.

Etiologi: Tidak diketahui, namun plasenta previa lebih sering dijumpai pada multipara dan kalau plasentanya lebar serta tipis. Diperkirakan kalau terdapat defisiensi endomitrium dan decidua pada segmen atas uterus, maka plasenta akan terus meluas dalam upayanya untuk rnendapatkan suplai darah yang lebih memadai.
Klasifikasi:
a) Placenta Previa Totalis atau Ventralis: Keseluruhan ostium internum cervix ditutup oleh placenta.
b) Placenta Previa Partialis: Sebagian ostium internum servix ditutup oleh placenta
c) Placenta Previa marginalis; Placenta membentang sampai tepi servix tapi tidak terletak pada ostium. Kalau cervix menipis dan membuka pada kehamilan lanjut, placenta previa dapat berubah menjadi jenis partialis.

Solutio Placenta
Keadaan ini yang juga dikenal sebagai pelepasan placenta sebelum waktunya atau premature separation of placenta meliputi pelepasan placenta dan dinding rahim.
Etiologi: penyebab solutio tidak diketahui.
Keadaan ini disertai : - Hipertensi pada kehamilan
 Overdistensi uterus yang mencakup kehamilan kembar dan polyhidramnion
 Trauma

 Tali pusat yang pendek
- Klasifikasi :
a) Totalis : Kematian bayi tidak bisa dihindari
b) Partialis: Janin masih mempunyai kemungkinan hidup.
Pernisahan lebih dan 50 persen placenta tidak memungkinkan janin untuk terus hidup.
- Penanganan Umum
Setiap perdarahan pada kehamilan lebih dan 22 minggu yang lebih banyak dan perdarahan yang biasanya terjadi pada permulaan persalinan biasa, harus dianggap sebagai perdarahan antepartum. Apa pun penyebabnya, penderita harus dibawa ke rumah sakit yang merniliki fasilitas untuk transfusi darah dan operasi. Jangan sekali - sekali melakukan pemeniksaan dalam di rurnah penderita atau di tempat yang tidak mernungkinkan tindakan operatif segera karena pemeriksaan itu dapat menambah banyaknya perdarahan. Pemasangan tampon dalam vagina tidak berguna sama sekali untuk menghentikan perdarahan, malahan akan menambah perdarahan karena sentuhan pada serviks pada waktu pemasangannya.
Selagi penderita belum jatuh ke dalam syok, invus cairan intravena harus segera dipasang, dan dipertahankan terus sampai tiba di rumah sakit. Memasang jarum infuse ke dalam pembuluh darah sebelum terjadi syok akan jauh lebih memudahkan transfusi darah, apabila sewaktu-waktu diperlukan.
Segera setelah tiba di rumah sakit, usaha pengadaan darah harus segera dilakukan, walaupun perdarahannya tidak seberapa banyak. Pengambilan contoh darah penderita untuk pemeriksaan golongan darahnya, dan pemeriksaan kecocokan dengan darah donornya harus segera dilakukan. Dalam keadaan darurat pemeriksaan seperti itu mungkin terpaksa ditunda, tidak sempat dilakukan sehingga terpaksa langsung mentransfusikan darah yang golongannya sama dengan golongan darah penderita, atau mentransfusikan darah golongan 0 reshus positif, dengan penuh kesadaran akan segala bahayanya.
Pertolongan selanjutnya di rumah sakit tergantung dari paritas, tuanya kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan ibu, keadaan janin, sudah atau belum mulainya persalinan, dan diagnosis yang ditegakkan”
 Perdarahan Post Partum
Definisi
Perdarahan postpartum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah kala III selesai ( setelah plasenta lahir ). Pengukuran darah yang keluar sukar untuk dilakukan secara tepat.
Jenis
Perdarahan postpartum dibagi dalam:
1) Perdarahan postpartum dini bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Perdarahan postpartum lambat bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama
.
Etiologi pendarahan postpartum dini
1) Atonia uteri. Pada atonia uteri, uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan postpartum. Uterus yang sangat teregang ( hidramnion, kehamilan ganda atau kehamilan dengan janin besar ), partus lama dan pemberian narkosis merupakan predisposisi untuk terjadinya atonia uteri.
2) Laserasi jalan lahir. Perlukaan serviks, vagina dan perineum dapat menimbulkan perdarahan yang banyak bila tidak direparasi dengan segera.
3) Hematoma, yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada jahitan perineum.
4) Lain-lain
a. Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga rnasih ada pembuluh darah yng tetap terbuka.
b. Ruptura uteri
c. Inversio uteri
Etiologi perdarahan postpartum lambat
1) Tertinggalnya sebagian plasenta
2) Subinvolusi di daerah insersi plasenta
3) Luka bekas seksio sesarea.
Diagnosis
1) Untuk membuat diagnosis perdarahan. postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok. Perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tapi pada setiap persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
2) Perdarahan yang terjadi di sini dapat deras atau merembes saja. Perdarahan yang deras biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani, sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang nampak seringkali tidak mendapat perhatian yang seharusnya. Perdarahan yang bersifat merembes ini bila berlangsung lama akan menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah janin lahir harus ditampung dan dicatat.
3) Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dan vagina, tapi menumpuk di vagina dan didalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan dan tingginya fundus uteri setelah janin keluar.
4) Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan pemeniksaan yang lengkap yang meliputi pemeriksaan darah umum, pemeniksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.
5) Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik, sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara mi dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, dan adanya sisa-sisa plasenta

Pencegahan
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum adalah memimpin kala II dan kala III secara Benar sesuai Standart APN.Dan Penolong harus benar benar mengetahui kondisi pasien sebaik mungkin
Tindakan
Tindakan pada perdarahan postpartum mempunyai dua tujuan, yaitu:
1) Mengganti darah yang hilang. 2). Menghentikan perdarahan. Pada umumnya kedua tindakan dilakukan secara bersama-sama, tetapi apabila keadaan tidak mengijinkan maka penggantian darah yang hilang yang diutamakan

 Syok Hemoragik

Dan semua keadaan perdarahan diatas, dapat menyebabkan syok pada penderita, khususnya syok hipovolemik atau syok hemoragik yang di sebabkan oleh berkurangnya volume darah yang beredar akibat perdarahan atau dehidrasi.

Gambaran Klinis Sindrom Syok
Dari sudut klinis, sehubungan dengan ringan atau beratnya syok dapat dibagi dalam: 1). Syok reversible atau primer; 2). Syok yang tidak reversible atau sekunder.
Syok hemoragik reversible dibagi dalam dua stadium, yaitu: 1). Syok reversible dini ( early reversible shock ), yang masih dapat dikompensasikan, dan 2). Syok reversible lanjut ( late reversible shock ), yang dalam keadaan dekompensasi. Pada syok reversible dini syok masih dalam stadium kompensasi. Tekanan darah sistolik relatif normal, belum menurun. Terjadi vasokonstriksi pada pernbuluh pembuluh darah tepi, dengan akibat tekanan diastolik agak meningkat dan tekanan nadi ( pulse presure ) menurun. Nadi menjadi lebih cepat dan normal, kulit terasa hangat.
Penderita sering terlihat gelisah, ketakutan dan merasa kedinginan. Dalam tingkat dini ini syok masih mudah diatasi dengan perawatan yang tepat dan cepat, antara lain dengan pemberian cairan elektrolit melalui infuse intravena. Dalam syok reversibel yang lanjut, syok berada dalam stadium dekompensasi. Tekanan darah menurun, timbul hipotensi dan nadi menjadi cepat. Penderita mengeluarkan banyak keringat, kulitnya teraba dingin. Suhunya mulai menurun. Dalam tingkat stadium dekompensasi yang masih dini, syok masih dapat diatasi dengan pemberian cairan elektrolit rnelalui infuse yang adekuat.
Dalam stadium dekompensasi yang sudah lanjut, keadaan penderita makin memburuk. Tekanan darah terus menurun, nadi makin cepat dan kecil, suhu makin menurun. Penderita menjadi pucat, bibir kebiru-biruan dan mata cekung. Diuresis menjadi kurang dan mulai timbul tanda-tanda terganggunya fungsi alat-alat vital. Dalam stadium dekompensasi yang sudah lanjut ini sangat sukar untuk mengatasi syok. Cairan infuse harus diberikan dalam jumlah banyak disertai pengukuran tekanan vena pusat (central venous pressure). Dalam perkembangan selanjutnya syok reversible dalam stadium dekompensasi menjadi syok yang tidak reversible.
Dalam tingkat ini tekanan darah terus menurun sehingga hampir tidak terukur lagi, nadi sangat cepat dan kecil sehinga hampir tak teraba, pemapasan menjadi cepat dan pendek, keadaan badan menjadi lebih dingin dan kesadaran terganggu. Mulai terdapat tanda - tanda gangguan fungsi alat - alat vital. Dalam keadaan syok yang tidak reversible penderita tidak tertolong lagi. Meskipun demikian segala sesuatu harus diusahakan untuk menolong penderita sebelum ia meninggal
Penanganan Syok Hemoragik
Pada syok hemoragik tindakan yang esensial adalah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan darah. Setelah diketahui adanya syok hemoragik, penderita dibaringkan dalam posisi Trendelenburg, yaitu dalam posisi terlentang biasa dengan kaki sedikit tinggi ( 30 derajat ). Dijaga jangan sampai penderita kedinginan badannya. Setelah kebebasan jalan napas terjamin, untuk meningkatkan oksigenasi dapat diberi oksigen 100% kira-kira 5 liter/menit melalui jalan napas.
Sampai diperoleh persediaan darah buat transfusi, pada penderita melalui infuse segera diberi cairan dalam bentuk larutan seperti NaCI 0,9%, ringer laktat, dekstran, plasma dan sebagainya. Sebagai pedoman dalam menentukan jumlah volume caiaran yang diperlukan, dipergunakan ukuran tekanan vena pusat (CVP) dan keadaan diuresis.
CVP dapat dipergunakan untuk memlai hubungan antara volume darah yang mengalir ke jantung dan daya kerja jantung. Tinggi VCP pada seseorang yang sehat yang berbaring adalah 5-8 cm air. Tekanan akan menurun jika volume darah itu menjadi kurang dan akan menaik dengan berkurangnya daya kerja jantung. Dengan demikian, CVP penting untuk memperoleh informasi tentang keseimbangan antara darah yang mengalir ke jantung dan kekuatan jantung, serta untuk menjaga jangan sampai pemberian cairan dengan jalan infuse berlebihan. Selama CVP masih rendah, pemberian cairan dapat diteruskan akan tetapi jika CVP lebih dari normal (15-16 cm air), hal itu merupakan isyarat untuk menghentikan atau saat untuk mengurangi pemberian cairan dengan infuse.
Pemeriksaan hematokrit berguna sebagai pedoman pemberian darah. Kadar hematokrit normal adalah 40%, dan pada perdarahan perlu darah sekian banyak, sehingga hematokrit tidak kurang dan 30%. Jika dianggap perlu kepada penderita syok hemoragik diberi cairan bikarbonat natrikus untuk mencegah atau menanggulangi asidosis. Penampilan klinis penderita banyak memberi isyarat mengenai keadaan penderita dan mengenai hasil perawatannya

DAFTAR PUSTAKA


 F. Gary Cunningham, M.D. williams Obstetrics, Eighteenth Edition, Appleton & Lange, California, 1989.
 Melfiawati, S. Kapita Selekta Kedaruratan Obstretik dan Ginekologi, Edisi Pertama, EGC, 1994.
 Prabowo R.P. Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga, yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiraharjo, Jakarta, 1999, 675-688
 Saifuddin A. B. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Edisi Pertama, Yayasan Bina Putaka Sarwono Prawiroraharjo, Jakarta, 2002.
Rachimhadi Trijatmo. Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta, 1999, 362-385.
Wiknojosastro Hanifa. Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi Pertama, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2000, 188-197.